BUKU HITAM UJIAN NASIONAL, Habe Arifin

BUKU HITAM UJIAN NASIONAL, Habe Arifin

Ujian Nasional atau UN. Membicarakan tentang sistem pendidikan di Indonesia, mau tidak mau juga harus membicarakan hal ini. UN adalah sistem evaluasi pendidikan dasar dan menengah secara nasional dan persamaan mutu tingkat pendidikan antar daerah. Untuk dapat lulus UN, siswa harus memenuhi standar nilai kelulusan yang ditetapkan untuk setiap mata pelajaran. Setiap pelaksanaan UN, selalu ada pro dan kontra. Bagi pihak yang pro (umumnya pihak Kementerian Pendidikan Nasional) beranggapan bahwa UN diperlukan untuk pemetaan kualitas pendidikan di Indonesia dan sebagai standar kelulusan. Bagi yang kontra beranggapan bahwa UN hanya fokus pada aspek hafalan (kognitif), mengabaikan aspek lain dan UN tidak layak dipakai sebagai satu-satunya tolok ukur kelulusan siswa. UN tidak melatih anak dapat berpikir kritis dan logis. Belum lagi banyaknya praktik kecurangan yang justru didukung oleh guru karena mereka mendapat tekanan dari pihak sekolah untuk meluluskan siswanya. Pemerintah cenderung berkaca pada negara-negara yang sudah maju seperti Amerika Serikat, Finlandia atau negara-negara lain. Nah, apakah di sana juga ada UN seperti di sini? Jawabannya: TIDAK.

Menurut Dhitta Puti Sarasvati, Direktur Program Ikatan Guru Indonesia (IGI) yang juga salah satu penulis di buku ini, di Finlandia, murid-murid diberikan proyek kelas yang bisa berupa karya tulis, penelitian, membuat suatu kreasi (desain, misalnya) dan lainnya. Proyek ini bisa dikerjakan dalam tim dan lintas bidang studi. Jadi, penilaian (assessment) terhadap kemampuan siswa tidak ditentukan dari ujian. “Selain itu, di Finlandia sistem pendidikan dirancang agar anak-anak yang mengalami masalah dapat segera ditangani. Contohnya, adanya guru khusus yang menangani anak-anak dengan kesulitan belajar (learning difficulties). Di Indonesia kan tidak seperti itu dan pemerintah beranggapan bahwa ujian itu yang menentukan kelulusan sehingga melupakan penilaian lain”, tuturnya dalam wawancara dengan tim MJEDUCATION.CO lewat telepon.

Perempuan yang mengambil master di bidang Pendidikan Matematika di Bristol, Inggris tersebut juga mengatakan bahwa sangat tidak adil menyamaratakan standar pendidikan di Indonesia sementara masih terjadi ketimpangan. Tidak mungkin membandingkan sekolah-sekolah di pelosok dimana anak-anaknya tidak mampu membeli buku, bangunannya sudah ambruk, belum dialiri listrik, guru-gurunya tidak tersertifikasi dengan sekolah-sekolah RSBI dengan fasilitas lengkap, gedung mewah dengan guru-guru yang sudah mengikuti pelatihan. “Kalau memang mau diadakan ujian nasional seperti sekarang, ya perbaiki dulu kondisi pendidikan di Indonesia”,ujar alumni Teknik Mesin ITB yang biasa disapa Puti itu. Soal-soal ujian nasional juga tidak lepas dari perdebatan. Simak tulisan Heru Widiatmo yang berjudul”UN Termometer Rusak”. Penulis yang sekarang bermukim di Amerika Serikat adalah pakar di bidang pengujian atau testing. Menurutnya, soal-soal UN dan UMPT (Ujian Masuk Perguruan Tinggi) itu bermasalah. Heru mempertanyakan mengapa siswa yang ikut tes masuk perguruan tinggi tidak dapat memperoleh informasi tentang nilai yang didapat. Heru juga beranggapan Badan Standardisasi Penilaian Pendidikan (BSNP) yang bertanggung jawab membuat soal UN dan PT untuk UMPT (Forum Rektor PTN untuk SNMPTN) kurang mampu membuat dan melaksanakan high-stake test ( ujian nasional penentu kelulusan).Pembuat soal ujian di Indonesia hanya terfokus pada soal yang harus dijawab melalui metode hafalan, jalan pintas, try out tetapi melupakan kemampuan lain seperti menganalisa, menginterpretasi dan menyelesaikan masalah. Heru berpendapat, di Indonesia perlu ada lembaga testing profesional yang bertanggung jawab membuat soal ujian yang dapat dipertanggung jawabkan secara moral karena UN saat ini ibarat termometer rusak yang tidak mampu memebdakan suhu tubuh orang yang sehat dan yang demam.

Apakah tingkat kelulusan yang tiap tahun meningkat menunjukkan kualitas pendidikan Indonesia semakin baik? Tidak juga. Sangat mengejutkan jika kita membandingkan tingkat kelulusan di ajang uji coba atau try out dengan kelulusan UN. Tengoklah, di beberapa daerah tingkat kelulusan try out UN hanya sekitar 20% tetapi saat UN ada sekolah yang mencatat rekor kelulusan 100%. Bahkan sederet prestasi anak Indonesia di ajang Olimpiade Sains Internasional juga TIDAK menggambarkan kualitas pendidikan secara keseluruhan di Indonesia karena kemampuan matematika anak Indonesia masih dibawah standar. Menurut penilaian TIMSS ( Trends in International Mathematics and Science) dan PISA (Programme for International Student Assessment) yang diadakan empat tahun sekali, kualitas pendidikan Indonesia justru merosot. Pada survei PISA tahun 2006, misalnya, peringkat Indonesia untuk matematika turun, dengan skor rata-rata merosot dari 411( 2003) menjadi 391 (2006). UN juga cerminan bahwa sistem pendidikan Indonesia tidak menghargai kejujuran dan proses kerja keras. Sering kita menyaksikan transaksi jual beli kunci jawaban soal UN, menyontek berjamaah dan ironisnya itu didukung oleh pihak sekolah demi reputasi. Mereka menghalalkan segala cara yang penting lulus UN karena jika tidak lulus maka akan menambah masalah. Bagi siswa dari keluarga tidak mampu akan terbebani jika tidak lulus karena harus mengulang lagi dan tentu butuh biaya ekstra.

Sekolah yang berbasis agama pun tidak luput dari praktik curang. Sangat miris mengingat di tempat tersebut siswa belajar nilai-nilai kebaikan, kejujuran,moral tetapi demi sebuah kata”Lulus UN”maka mereka mengabaikan semua nilai tersebut.Lebih parah lagi banyak siswa yang sebenarnya cerdas, tetapi hanya karena nilai di salah satu mata pelajaran tidak memenuhi nilai standar kelulusan, maka ia tidak lulus UN. Bahkan ada yang mengalami stres sehingga mengakhiri hidupnya karena tidak lulus UN. Seolah-olah masa depan siswa hanya ditentukan dari UN yang hanya berlangsung beberapa hari.Lalu bagaimana dengan sistem lama, yaitu Ebta dan Ebtanas? Sekalipun tidak luput dari permainan dan mengkatrol nilai, tetapi guru juga punya catatan penting: catatan harian atas prestasi murid. Guru lebih mengetahui kondisi muridnya secara riil, mana yang harus dibantu mana yang tidak. Sementara UN penuh dengan manipulasi danguru mendapat tekanan dari birokrasi agar UN berlangsung suskes.

Buku ini menarik karena setiap penulis menyertakan data dan analisa dalam memaparkan argumen mereka. Tidak salah jika buku ini menjadi buku yang wajib dibaca, baik bagi yang pro UN maupun yang kontra UN. Bagi pembuat kebijakan, buku ini bisa menjadi bahan renungan tentang apa yang sebaiknya dilakukan untuk memperbaiki kondisi pendidikan di negeri ini. Semoga mereka juga menyadari bahwa semua anak Indonesia itu cerdas dan kecerdasan seseorang tidak bisa diukur dari nilai ujian saja. Ujian kehidupan adalah ujian yang sesungguhnya dan sudah seharusnya pendidikan di Indonesia menyiapkan anak didiknya untuk siap menghadapi tantangan hidup yang semakin kompleks.

Rp 46.000

Beli Sekarang
Tersedia
Berat (gram)700


INFO BUKU

Judul: Buku Hitam Ujian Nasional
Penulis: Habe Arifin
Penerbit: Resist Book
Edisi: 2012
Halaman: 386
Sampul: Soft Cover
Bahasa: Indonesia
Kondisi: Buku Baru
Lokasi: 

Kode: Masukkan kode negara.
Telepon: Masukkan nomor telepon.


Checkout Sekarang